Sheila.Anindya


Mencontek dapat diartikan sebagai perbuatan untuk mencapai suatu keberhasilan dengan jalan yang tidak sah. Walaupun dalam hal ini kata “keberhasilan” dan “sah” masih dapat diperdebatkan. Tetapi saya mengambil logika secara umum dalam masyarakat kita. Sedangkan budaya adalah suatu produk manusia melalui proses pembelajaran. Dalam pengertian di atas terjadi pertentangan antara mencontek dalam konotasi yang negatif dan budaya dalam konotasi positif. Apakah patut kita menggandengkan kata budaya dengan kata mencontek dalam hal ini. Ketika frame of reference kita adalah fenomena yang terjadi dalam masyarakat kita maka hal ini sah-sah saja.

Ujian nasional (UAN) pada tahun 2008 kemarin dipenuhi dengan pemberitaan yang cukup menggemparkan. Salah satunya adalah penangkapan para guru oleh Detasemen 88. Detasemen 88 yang biasa bertugas dalam aksi penangkapan teroris sekarang beralih objek kepada para guru yang melakukan “kecurangan”. Kecurangan ini adalah kegiatan memanipulasi jawaban ujian nasional murid-murid mereka. Pertanyaannya apakah para guru ini benar-benar berada pada golongan kriminalitas tinggi sehingga harus ditangani oleh pasukan khusus. Di satu sisi patut diapresiasi upaya pemerintah dalam memberangus kecurangan akademik. Tetapi di satu sisi yang lain perlu timbul pertanyaan kenapa hal seperti ini perlu terjadi. Guru-guru yang ditangkap bukan seperti halnya para joki ujian yang mendapatkan upah sampai jutaan rupiah untuk meluluskan ujian. Tetapi mereka melakukan ini semata mata untuk melihat murid-muridnya lulus ujian. Bila ditelusuri lebih jauh bahkan sudah menjadi rahasia umum bila kecurangan dalam ujian sudah menjadi hal yang biasa. Baik dalam ujian CPNS, UAN, dan lain-lain.

Kasus kecurangan dalam ujian adalah salah satu kasus dimana kebiasaan mencontek menjadi sangat jelas untuk diamaati. Lebih jauh lagi, kebiasaan mencontek terjadi juga dalam kegiatan-kegiatan sekolah lainnya baik mencontek pekerjaan rumah, laporan praktikum dan lain-lain. Dalam hal ini penulis merasa valid untuk mengeneralisir kebiasaan mencontek ini dari kasus dalam ujian terutama ujian nasional. Bila seseorang pelaku pencontekan ditanya tujuan mereka mencontek maka jawaban yang paling umum terjadi tentulah untuk mendapatkan nilai ujian yang baik. Ketika diberi pertanyaan lanjutan kenapa seseorang perlu mendapatkan nilai yang baik. Tentu jawabannya adalah untuk mengokohkan jalan untuk mendapatkan kesuksesan. Dalam hal ini paradigma lama dalam masyarakat kita masih terjadi. Seseorang yang sukses di sekolah maka dapat sukses juga dalam menjalani hidup. Paradigma sempit ini mendefinisikan bahwa sukses dalam hidup dengan variabel sukses di sekolah tentu saja adalah mendapatkan pekerjaan dengan mudah. Tentu saja seharusnya muncul pertanyaan apakah setelah mendapatkan pekerjaan apa yang bisa dilakukan dengan berbekal pengalaman sekolahnya. Dengan penelusuran pertanyaan tersebut dapat diambil satu titik simpul permasalahan bahwa kebiasaan mencontek bermula dari sebuah konsep yang dinamakan “nilai” secara kuantitatif. Evaluasi dilaksanakan dalam rangka menilai keberjalanan sistem pengajaran maupun penilaian penetrasi kurikulum terhadap peserta didik. Secara umum sistem evaluasi dalam sebagian besar pelaksanaan pendidikan menuntut untuk pelaksanaan evaluasi kuantitatif. Dalam pandangan filosofi positivisme meyakini bahwa kebenaran hanya dapat didekati dengan metode ilmiah. Asosiasi metode ilmiah dan nilai kuantitatif sangatlah kuat.

Kenyataan di lapangan memberikan sebuah analisis bahwa sistem evaluasi yang diterapkan sekarang ini tidak memberikan celah bagi peserta didik untuk membuktikan diri sebagai “seseorang” dengan cara lain kecuali dengan mendapatkan nilai yang baik. Dalam sosiologi, salah satu motif setiap orang untuk berinteraksi adalah untuk mendapatkan penghargaan dari lingkungannya. Dengan kata lain, untuk mendapatkan penghargaan ini harus ditempuh dengan mendapatkan nilai yang baik maka dengan itu dapat dilakukan cara apapun untuk mendapatkan nilai yang baik.

Mari kita bandingkan sistem evaluasi yang dinamakan UAN dengan sistem evaluasi yang dinamakan EBTANAS. Walaupun dalam sistem EBTANAS masih menggunakan evaluasi kuantitatif, tetapi dalam EBTANAS tidak mengenal istilah kelulusan sekolah. Walaupun seseorang peserta EBTANAS mendapatkan nilai yang minim, tetapi masih dapat meneruskan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi. Hal ini diperkuat dengan anggapan buruk mengenai peserta didik yang tidak naik kelas, peserta didik yang tidak lulus ujian, maupun peserta didik yang tertinggal dalam pelajaran. Ketika masih menerapkan sistem EBTANAS, koran-koran tidak banyak dipenuhi dengan berita kontroversial seperti halnya ketika sistem UAN dilaksanakan. Inilah analisis “dangkal” untuk membuat kesimpulan bahwa sistem EBTANAS masih jauh lebih baik dari pada sistem UAN. Lebih jauh lagi ketika kita bandingkan sistem evaluasi dalam sekolah formal dengan sistem evaluasi yang diterapkan di pesantren-pesantren tradisional. Pesantren tradisional tidak mengenal pengkelas-kelasan dan justifikasi berdasarkan tingkat kecakapan santri, tetapi murni didasarkan oleh materi yang diberikan. Setiap santri berhak untuk mengikuti kelas manapun dengan tingkat kesulitan apapun dengan sekehendak santri. Pesantren pun tidak mengenal jangka waktu pengajaran ataupun jangka waktu belajar. Setiap santri berhak untuk menentukan apakah dia merasa cukup atau tidak dalam menerima sebuah materi ajar. Keunggulan pesantren tradisional dengan segala kekurangan terutama terkait kesejahteraan adalah dapat menciptakan seseorang dengan totalitas hasrat keilmuan, kesederhanaan, dan orang-orang yang dapat melebur dengan masyarakatnya.

Beralih kembali ke permasalahan kebiasaan mencontek dalam konteks masyarakat ialah tidak adanya penerapan budaya malu dalam mencontek. Pendidik atau guru pada saat terjebak dengan pandangan penerapan budaya malu dengan penerapan mempermalukan. Hal ini terlihat dengan adanya konsekuensi yang biasa diberikan kepada pelaku dengan mempermalukan di depan teman-temannya yang lain atau lingkungan lain atas tindakan mencontek. Penerapan budaya malu lebih kepada upaya brain washing untuk mendoktrin setiap orang bahwa mencontek adalah upaya yang sangat memalukan dan tidak memerlukan sebuah hukuman langsung terhadap pelaku. Setiap orang yang ingin mencontek akan merasa bahwa setiap orang bahkan dirinya sendiri akan mengawasi dan menghakiminya ketika dia mencontek. Suatu ironi hal ini tidak berlaku dalam masyarakat kita yang dikenal dengan mitos masyarakat yang santun, ramah, bermoral dll.
Pandangan di atas menghilangkan faktor individu sebagai sebuah permasalahan seperti pandangan bahwa seseorang mencontek karena ketidaksiapan dalam menghadapi ujian, adanya sifat pemalas pada individu maupun pandangan-pandangan lain yang lebih mengarah pada penghakiman terhadap individu. Hal ini dikarenakan penulis menyepakati sebuah anggapan bahwa bagaimanapun sebuah sistem jauh lebih penting dari pada pelaku sistem itu sendiri, pertama karena pelaku sistem adalah bagian dari sistem itu sendiri dan kedua adalah sebaik-baiknya pelaku sistem pasti akan menyesuaikan diri dengan sistem itu sendiri.

0 Responses

Posting Komentar